About

Pages

Sabtu, 20 Juli 2013

Sanggar Angklung Harmony

SANGGAR ANGKLUNG HARMONY 



Di dirikan pada tanggal 08 Januari 2012 , oleh Kang  Yatno Trihardani kelahiran Bandung, 13 November 1964. Lulusan Konservatori Karawitan Indonesia tahun 1984 ( KOKAR ). yang sekarang berubah menjadi SMKN 10 Bandung.  saat ini sudah mengajar di beberapa sekolah dan instansi terkait, di antaranya : 

  1. PEMKOT BANDUNG ( Unit Dharma wanita dalam bidang Musik Arumba ( Alunan Rumpun Bambu) )
  2. PDAM KOTA BANDUNG ( Sebagai Pelatih Lingkung Seni Tirtawening Kota Bandung )
  3. SMP PASUNDAN 2 BANDUNG ( Sebagai Pengajar Seni dan Budaya )
  4. SMPN 15 BANDUNG ( Sebagai Pelatih Angklung ) 
  5. KOMUNITAS ANGKLUNG MERAH PUTIH ( Sebagai Pendiri Komunitas )

Seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 082
tahun 1968 tentang Musik Angklung sebagai alat musik pendidikan dan bahkan belum lama ini telah di akui oleh dunia Internasional ( UNESCO ) bahwa alat musik angklung adalah milik bangsa indonesia non bendawi khususnya bagi warga Jawa Barat.

Oleh karena itu kami dari SANGGAR ANGKLUNG HARMONY  dalam rangka menjaga dan ikut memelihara kepercayaan dari dunia internasional tersebut akan terus menerus mengadakan sosialisasi anglung di atas agar tetap eksis dan bahkan menjadi alat komunikasi melalui alat musik tersebut.

Visi kami adalah : bertujuan untuk melahirkan tokoh tokoh angklung seperti bapa Udjo Ngagalena dan bapa daeng sutigna berikutnya  dan menciptakan generasi yang terampil ( Lifeskill ) agar nilai nilai luhur alat musik angklung yaitu yang bersifat kebersamaan dan kegotongroyongan tetap terjaga sesuai dengan sifat bangsa indonesia 

Misi kami adalah :
                            a. Melatih Generasi sedini mungkin agar mengenal angklung dan dapat memainkannya 
                            b. Melakukan Sosialisasi kepada masyarakat tentang tata cara bermain angklung  yang
                                 benar dan bagaimana cara merawatnya 
                            c. Menjual alat musik Angklung dan Arumba ( Alunan Rumpun Bambu ) ke sekolah
                                 maupun intansi pemerintahan 
                            d. Menerima untuk Pemanggilan Service Angklung dan Arumba agar suara atau nada 
                                alat musik tersebut tetap nyaring dan selaras 




BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENCINTAI SENI BUDAYANYA SENDIRI

Kamis, 18 Juli 2013

Sejarah Arumba

Sejarah Arumba
Arumba adalah ensemble musik dari berbagai alat musik yang terbuat dari bambu. Arumba lahir sekitar tahun 1960-an di Jawa Barat Indonesia, saat ini menjadi alat musik khas Jawa Barat. Sejarah penamaan dan terbentuknya alat musik arumba pada tahun 1964, Yoes Roesadi dan kawan-kawan membentuk grup musik yang secara khusus menambahkan angklung pada jajaran ensemblenya. Ketika sedang naik truk untuk pentas ke Jakarta, mereka mendapat ide untuk menamai diri sebagai grup Aruba (Alunan Rumpun Bambu).
Kemudian sekitar tahun 1968, Muhamad Burhan di Cirebon membentuk grup musik yang bertekad untuk sepenuhnya memainkan alat musik bambu. Mereka memakai alat musik lama (angklung, calung), dan juga berinovasi membuat alat musik baru (gambang, bass lodong). Ensemble ini kemudian mereka beri nama Arumba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, Grup Musik Aruba juga mengubah nama menjadi Arumba, sehingga timbul sedikit perselisihan istilah arumba tersebut. Dengan berjalannya waktu, istilah arumba akhirnya melekat sebagai ensemble musik bambu asal Jawa Barat.

Arumba terdiri dari beberapa perangkat alat musik yang terdiri dari

  •  Angklung solo: adalah satu set angklung (biasanya 31 buah) yang tergantung pada palang. Angklung ini dimainkan oleh satu orang saja, sehingga pada satu saat, hanya dua angklung yang bisa digetarkan.
  •  Gambang Melodi: adalah gambang yang membunyikan melodi lagu (saling mengisi suara dengan angklung), dimainkan oleh satu orang dengan dua pemukul.
  •   Gambang pengiring: adalah gambang yang bertugas menghasilkan suara akord. Gambang ini dimainkan oleh seorang pemain dengan 4 pemukul.
  •   Bass lodong: terdiri atas beberapa tabung bambu besar yang dipukul untuk memberi nuansa nada rendah.
  •  Gendang : adalah alat musik pukul yang digunakan sebagai pembawa irama.

Sejarah Angklung

Angklung adalah alat musik terbuat dari dua tabung bambu yang ditancapkan pada sebuah bingkai yang juga terbuat dari bambu. Tabung-tabung tersebut diasah sedemikian rupa sehingga menghasilkan nada yang beresonansi jika dipukulkan. Dua tabung tersebut kemudian ditala mengikuti tangga nada oktaf. Untuk memainkannya, bagian bawah dari bingkai ini dipegang oleh satu tangan, sementara tangan yang lain menggoyangkan angklung secara cepat dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Hal ini akan menghasilkan suatu nada yang berulang. Dengan demikian, dibutuhkan sebanyak tiga atau lebih pemain angklung dalam satu ensembel, untuk menghasilkan melodi yang lengkap.
Angklung telah populer di seluruh Asia Tenggara, namun sesungguhnya berasal dari Indonesia dan telah dimainkan oleh etnis Sunda di Provinsi Jawa Barat sejak zaman dahulu. Kata “angklung” berasal dari dua kata “angka” dan “lung”. Angka berarti “nada”, dan lung berarti “putus” atau “hilang”. Angklung dengan demikian berarti “nada yang terputus”.
Pada perioda Hindu dan Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang peranan sangat penting pada beberapa upacara ritual masyarakat Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai perantara dalam ritual, angklung dimainkan untuk menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan, dengan harapan agar negeri dan kehidupan mereka dapat diberkati. Di kemudian hari, menurut Kidung Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh Kerajaan Sunda untuk penyemangat dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.
Angklung tertua yang masih ada sampai kini ialah Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga,Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.
Seiring berjalannya waktu, angklung telah menarik banyak perhatian di dunia internasional. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, dari Bandung, menciptakan angklung yang berdasarkan tangga nada diatonik, alih-alih menggunakan tangga nada tradisional pélog atau saléndro. Sejak saat itu, angklung digunakan untuk tujuan pendidikan dan hiburan, dan bahkan dapat pula dimainkan bersama dengan alat-alat musik Barat dalam orkestra. Salah satu penampilan angklung dalam orkestra yang sangat terkenal ialah pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Udjo Ngalagena, seorang murid dari Daeng Soetigna, kemudian membuka “Saung Angklung” (Rumah  Angklung) pada tahun 1966 sebagai pusat pengembangan angklung.
UNESCO menetapkan angklung sebagai Karya Budaya Takbenda dan Warisan Budaya Dunia pada tanggal 18 November 2010. Di samping itu, UNESCO menyarankan dengan sangat kepadaIndonesia untuk senantiasa menjaga dan melestarikan karya dan warisan budayanya.